JATENGPOS.CO.ID. – Remaja yang tengah berada pada fase pencarian jati diri, memiliki kepribadian yang labil. Baik perasaan maupun pikiran remaja masih sering berubah-ubah. Pada masa ini acapkali remaja merasa menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan remaja dapat bersumber dari pergaulan, dimana pada saat ini marak adanya gank remaja yang kerap melakukan tindakan bullying pada temannya yang dianggap lemah. Selain dari pergaulan, keluarga pun terkadang menjadi sumber masalah remaja. Pola asuh orang tua yang otoriter akan kontra dengan pola pikir remaja karena mereka merasa tidak dimengerti dan tidak diterima. Begitupun pola asuh permisif menjadikan remaja merasa bebas yang justru akan menimbulkan masalah lainnya. Di sekolah, tidak sedikit remaja mengeluh dengan banyaknya tugas sekolah sementara waktu dan tenaga untuk menyelesaikan semua penugasan tersebut dirasa sangat terbatas.
Ketika sedang menghadapi masalah, dan merasa tidak memiliki tempat mengadu maka sebagian remaja akan merasakan putus asa. Lalu, ketika rasa putus asa telah ada dalam diri remaja tidak menutup kemungkinan remaja tidak akan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga prestasinya pun tidak akan meningkat. Remaja yang memiliki rasa putus asa dipastikan memiliki daya juang yang rendah. Padahal daya juang sangat penting untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan semua permasalahan yang ada.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecerdasan mengatasi masalah serta bertahan ketika berada dalam masalah. Kecerdasan ini disebut juga dengan istilah Adversity Quotient (AQ). AQ mempunyai peran yang penting terutama dalam menyelesaikan masalah dan bertahan menghadapi hidup. AQ akan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Semakin banyak usia maka seharusnya AQ yang dimiliki pun semakin tinggi. Perkembangan AQ manusia dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah pola asuh orang tua.
Keluarga sebagai tempat anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama memiliki peran penting dalam perkembangan AQ remaja. Pola asuh demokratis lebih tepat diterapkan dalam keluarga sebagai pembentuk AQ remaja. Sejak anak ada di usia dini, orang tua dapat mulai membiasakan anak untuk hidup mandiri. Orang tua seyogyanya tidak selalu melayani kebutuhan anak. Sejak dini anak dapat dilatih untuk dapat mengerjakan hal-hal kecil, mulai dari makan, minum, mandi serta berpakaian biarkan anak melakukannya sendiri. Ketika anak berusia lebih besar, ajarkan anak untuk melakukan pekerjaan rumah yang ringan. Mungkin orang tua merasa khawatir ketika anak bertengkar dengan kakak atau adiknya, namun biarkanlah dulu anak menyelesaikan masalah mereka dengan tetap diawasi kemudian berikan nasihat sesudahnya. Hal tersebut mengajarkan anak tentang problem solving, bagaimana mereka dapat menyelesaikan masalah di kemudian hari.
Sekolah sebagai tempat pendidikan formal memiliki peran yang tak kalah penting dalam membentuk AQ remaja. Penguatan pendidikan karakter yang diimplementasikan di sekolah mendorong peningkatan AQ remaja. Kegiatan belajar di sekolah menjadi ladang remaja untuk berlatih mengatasi berbagai masalah. Guru dapat menyisipkan karakter mandiri dalam membuat dan melaksanakan rencana pembelajaran. Guru dapat pula mengarahkan peserta didik untuk mencari sendiri sumber belajar sebagai bahan penguasaan materi pelajaran, sehingga peserta didik tidak hanya bergantung pada materi yang diberikan guru. Kegiatan presentasi di depan kelas, baik secara individu maupun berkelompok dapat melatih peserta didik untuk lebih percaya diri. Kepercayaan diri sangat mendukung remaja untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Menumbuhkan keyakinan diri remaja untuk dapat bertahan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dapat dilakukan orang tua dan guru dengan selalu memotivasi remaja. AQ akan berkembang dengan baik pada diri individu yang selalu mendapatkan dorongan dan arahan. Remaja dengan AQ yang baik akan senantiasa dapat menyelesaikan tugas tanggung jawabnya, dapat mengontrol sikap dan perilakunya serta dapat bertahan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi sehingga dapat melaksanakan kegiatan efektif sehari-hari dengan baik.Maka, biarkan anak mencoba hal baru, biasakan anak untuk melaksanakan tanggung jawabnya serta biarkan anak belajar menyelesaikan sendiri masalahnya dengan tetap dilakukan pengawasan kemudian berikan motivasi dan penguatan sehingga anak merasa dihargai dan terhindar dari rasa putus asa.
Mia Indah Kusumawati, S. Pd
Guru BK SMP N 6 Semarang