UKSW Sudah Bermurah Hati Tetap Ijinkan Mahasiswa Papua Kuliah Meski Pembayaran Tersendat

Wakil Rektor UKSW Bidang Kerja Sama dan Kealumnian Yafet Yosafet Wilben Rissy, S.H., M.Si., LLM (AFHEA) didampingi Kepala Kantor Sekretariat Rektorat (KSR) UKSW Dr. Krishna Djaya Darumurti, S.H., M.H. ( foto : dekan/ jateng pos).

JATENGPOS.CO.ID,  SALATIGA – Wakil Rektor UKSW Bidang Kerja Sama dan Kealumnian  Yafet Yosafet Wilben Rissy, S.H., M.Si., LLM (AFHEA) menegaskan, pihak UKSW sudah bermurah hati dengan memberikan kelonggaran kepada ratusan mahasiswa dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, untuk tetap kuliah meski pembayarannya tersendat.

Hal ini diungkapkan Yafet menanggapi pemberitaan terkait kondisi mahasiswa Pegunungan Bintang yang kehabisan uang dan tidak bisa makan dan bayar kos.

Dijelaskan Yafet,  pada Maret 2021 ditandatangani MOU dengan Bupati Pegunungan Bintang dan UKSW di Pegunungan Bintang. Pihak UKSW diwakili Pak Melkior.

Sejak ditandatangani MOU itu, ditindaklanjuti dengan penerimaan mahasiswa tahun akademik 2021/2022 sebanyak 100 mahasiswa, 2022/2023 sebanyak 100, dan ada penambahan 10 sehingga total 210.

“ Dari MoU dan perjanjian yang kita punya, sesuai dengan kesepakatan yang dimiliki pemerintah kabupaten  menanggung sejumlah biaya antara lain SPP SKS, kesehatan, biaya kehidupan sehari-hari (living cost), membayar uang kesehatan, pembinaan kerohanian dan sebagainya,” ujar Yafet didampingi Kepala Kantor Sekretariat Rektorat (KSR) UKSW Dr. Krishna Djaya Darumurti, S.H., M.H, Kamis (9/2).

Namun dalam perjalanan, tidak semulus yang ada diperjanjian. Pada tahun pertama, 2023 biaya yang dirim Pemkab Pegunungan Bintang   hanya mengirim 1.5 miliar, sedangkan pada tahun kedua, 2022  biaya yang dikirim adalah 3.5 M, jadi total ada 5M.

“ Padahal nilai total dalam perjanjian sebesar 28.134.000.000. Artinya masih tersisa sekitar 23M yang dibayarkan pihak Pemkab PB. Pertanyaannya ialah bagaimana anak-anak Pegunungan Bintang ini bisa tetap kuliah?,” katanya.

Dijelaskan Yafet,  uang yang dikirim dari Pemkab Pegunungan Bintang senilai Rp 5 miliar itu dipakai bukan untuk UKSW. Uang tersebut didistribusikan kembali ke mahasiswa terutama untuk kost dan makan. “ Uang kuliah, uang pembangunan, uang SKS, uang kesehatan, dan sebagainya  siapa yang menanggung? Sekali lagi UKSW cukup bermurah hati  dalam kebijakannya dengan tetap mengijinkan mahasiswa Pegunungan Bintang. Kalau mahasiswa lain, dengan system yang ada akan dengan sendirinya di cut off, tidak bisa registrasi tidak bisa ambil matkul, tidak bisa ambil program-program pendidikan, termasuk akses laboratorium,” tandasnya.

Ditambahkan Yafet, pihak kampus mempertimbangkan pelayanan bagi mahasiswa Pegunungan Bintang dan menghargai pemerintah Kabupatan Pegunungan Bintang untuk meningkatkan SDM-nya. “ jadi UKSW mengambil sikap yang lebih dari cukup untuk  menolong dengan  memperbolehkan mahasiswa tetap berkuliah, ini yang tidak diketahui publik seolah-olah mahasiswa Pegunungan Bintang dibiarkan, tidak diurus dan tidak ada perhatian dari UKSW. Saya kira ini bisa kita pahamkan, supaya clear,” tandasnya.

UKSW tetap berkomitmen menolong mahasiswa namun juga berharap Pemkab Kabupaten Bintang juga melakukan kewajiban-kewajibannya supaya kerjasama ini berjalan dengan baik.

Ditegaskan Yafet, tidak tepat UKSW membiarkan mahasiswa kelaparan, meski uangnya sudah tidak ada, bahkan sudah minus  Rp 200 juta.  “ Artinya UKSW selain tidak menerima pembayaran dari Pemkab Pegunungan Bintang, namun juga menanggung biaya operasional lainnya. Tapi apapun kita tetap berkomitmen meningkatkan komunikasi dengan pemkab supaya kewajiban ini dilaksanakan dan saat yang sama mahasiswa didorong untuk tetap berkuliah dengan baik di UKSW,” pungkasnya. (deb)