Memperkuat Pendidikan Karakter Mengantisipasi Krisis Moral

Asri Hapsari, SMA N 1 Kendal
Asri Hapsari, SMA N 1 Kendal

Berita menggemparkan tentang meninggalnya Ahmad Budi Cahyono (27), seorang guru seni rupa SMAN 1 Torjun, Sampang Jawa Timur beberapa waktu lalu menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan teman sejawat kalangan pendidik di seluruh wilayah Indonesia. Kenyataan ini sungguh memilukan dan membuat dunia pendidikan bangsa ini berkabung secara nasional.

Bukan hanya tragedi kematian guru Budi yang menggambarkan terjadinya krisis moral yang menimpa generasi muda kita. Berlatar belakang kematian pahlawan tanpa tanda jasa tersebut beberapa media elektronik dan media sosial memuat berita tentang contoh peristiwa krisis moral serupa diantaranya video seorang pelajar pendidikan dasar yang memaki gurunya, juga perilaku seorang pelajar yang bertingkah laku tidak sopan dan melanggar peraturan (merokok) pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung.

Sekolah manapun sudah pasti menerapkan larangan  merokok bagi peserta didiknya di mana pun sekolah itu berada. Itu hanya sebagian contoh peristiwa yang mewarnai dunia pendidikan di negeri ini masih banyak peristiwa serupa sebagai bentuk kenakalan remaja baik berupa pergaulan bebas, pornografi, penyalahgunaan obat terlarang, bullying dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut semakin menyadarkan khalayak di dunia pendidikan bahwasannya krisis moral bukan hanya melanda generasi muda kita tetapi telah mencapai tahap sangat memprihatinkan hingga memakan korban, suatu kenyataan yang tidak pernah kita inginkan.

Krisis moral tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan moral belum berdampak terhadap perubahan perilaku. Pendidikan moral yang diajarkan di sekolah masih sebatas teks dan kurang memberikan persiapan untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif.

Bangsa Indonesia termasuk bangsa timur yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Secara umum kepribadian bangsa timur memiliki sifat toleransi yang tinggi. Di dunia, bangsa timur dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Indonesia dengan beragam budaya, suku dan adat istiadat.

Indonesia termasuk dalam bagian negara-negara pada posisi benua asia memiliki adat yang disebut sebagai adat ketimuran. Indonesia yang tergabung dari berbagai suku terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya dan tingginya rasa saling menghormati antar sesama. Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara barat, karena pandangan hidup dan kebiasaan masyarakatnya yang berbeda. Dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia yang memiliki adat ketimuran, rasa toleransi, ramah, sopan santun, saling menghargai dan gotong royong selalu melandasi kehidupan masyarakat Indonesia.

Tapi kini budaya bangsa sudah mulai luntur karena generasi muda kita cenderung meniru budaya-budaya luar daripada budaya asli negeri sendiri. Sebagai contoh remaja putri yang berpenampilan ala bule mulai cara berpakaian hingga potongan rambut yang mengadopsi budaya barat. Mereka merasa menjadi lebih cantik dengan gaya itu daripada memakai pakaian yang menutup anggota tubuh yang merupakan salah ciri khas kita sebagai negara yang penuh sopan santun dan keramahannya.

Remaja jaman sekarang berbeda dengan remaja jaman dulu. Jika remaja dulu cenderung aktif, kreatif, ulet dan mau berusaha sedangkan remaja sekarang ini sudah dimanjakan dengan peralatan serba canggih dan makanan serba instan. Ini menimbulkan ancaman dan kekhawatiran  jika mereka menjadi generasi malas yang tidak mau bekerja keras.  Hal ini jangan sampai menimpa generasi muda bangsa, sebagai penerus hendaknya harus menjadi generasi yang mau berusaha lebih keras untuk memajukan bangsa ini.

Padahal pencapaian hasil belajar tidak dapat hanya dilihat dari ranah kognitif (menyangkut aktivitas otak) dan psikomotorik (keterampilan atau kemampuan bertindak), tetapi juga harus dilihat dari hasil afektif (berkaitan dengan sikap dan nilai).

Upaya mengatasi krisis moral tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan pendidikan karakter.  Dalam Islam, karakter identik dengan akhlak yang merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah yang dilandasi oleh pondasi aqidah yang kokoh. Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, dimana  penanaman nilai-nilai sebagai sebuah karakteristik seseorang sudah berlangsung sejak dulu. Akan tetapi, perkembangan jaman menuntut perlunya penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam proses pembelajaran.

Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan perkembangan moral anak didik. Yaitu proses mengajari anak didik dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral,  yang membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.

Karena karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Mengembangkan pendidikan karakter berarti mengupayakan tumbuh kembangnya sistem nilai,  moral dan sikap dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan moral itu sendiri merupakan pondasi bagi pendidikan karakter.

Pendidikan karakter tidak semata-mata bersifat individual, melainkan juga memiliki dimensi sosial struktural, yakni lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu. Diharapkan dengan pendidikan karakter, tercipta generasi yang bermoral dan bertanggungjawab serta mampu menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang berbudaya.

Pendidikan Karakter akan efektif jika diselenggarakan dengan mengintegrasikan beberapa desain diantaranya : berbasis kelas, konteks pendidikan karakternya adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran,  berupa dialog antara guru dan siswa yang berinteraksi dengan materi pelajaran. Guru memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks   pembelajaran dan menghubungkannya dengan ranah non instruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Berbasis kultur sekolah, membentuk karakter peserta didik dengan bantuan pranata sosial sekolah.

Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran misalnya melalui kantin kejujuran.  Berbasis komunitas, melibatkan pihak lain seperti keluarga, masyarakat dan negara. Sopan santun dalam bahasa dan tata krama sekarang menjadi hal yang langka, tergerus era modernisasi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sebagai contoh di lingkungan sekolah, peserta didik mengalami pergeseran cara berkomunikasi dengan guru. Tidak lagi ada batas yang jelas antara guru dengan peserta didik.

Terlihat dari bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan guru terlebih jika menggunakan bahasa daerah (Bahasa Jawa) entah disadari atau tidak mereka menggunakan bahasa “ngoko” ketika berbicara dengan guru. Fakta ini menunjukkan gejala krisis sopan santun, mungkin di pedesaan orang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya misalnya terdapat perbedaan cara berkomunikasi antara mereka yang berusia sama dengan komunikasi antara mereka yang berbeda usia (yang muda dengan orang yang lebih tua/dituakan).

Sopan santun hendaknya diajarkan sejak usia dini karena mereka lebih mudah dibentuk dengan meniru/mencontoh sikap atau perilaku orang di sekitar mereka, terutama orangtua. Jangan lupa menjelaskan kepada anak alasan mengapa ia harus berlaku sopan dan menghargai orang lain sehingga mereka lebih termotivasi. Dengan demikian peran serta keluarga (orang tua) dan lingkungan tempat tinggal menjadi hal mutlak dalam pembentukan karakter individu.

Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi artinya negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi  manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah. Namun, sekolah bukan satu-satunya tempat untuk mendidik karakter pribadi tetapi keluarga dan masyarakat turut berperan dalam mendidik karakter seorang peserta didik.

Rumah adalah istana, tetapi rumah juga mampu menjadi penjara jika tanpa komunikasi. Masyarakat mampu menjadi sahabat, tapi dapat pula menjadi penyekat apabila tidak ada empati yang dirasakan. Semua individu adalah pelaku pendidikan karakter.