Dunia dihebohkan oleh berita tertangkapnya sejumlah remaja di Jawa Tengah yang melakukan tindakan konyol dengan meminum air rebusan pembalut bekas. Mereka dikabarkan memungut pembalut bekas dari tong sampah untuk kemudian direbus. Air hasil rebusan itu kemudian dijadikan sebagai media untuk mabuk atau nge-fly. Yang mencengangkan adalah, kasus ganjil dan tergolong baru itu terjadi di wilayah pantura yang sesungguhnya kental dengan dunia pesantren: Kudus.
Selama ini, pendidikan agama cenderung masuk dalam tataran formalitas saja. Dalam artian guru atau pihak sekolah umumnya masih sebatas memenuhi kebutuhan materi luar saja. Materi yang diajarkan hanya sebatas pada tingkat kognitif siswa, tidak menyasar tingkat afektif yang justru menjadi bagian terpenting dari hasil pendidikan agama. Untuk itu diperlukan langkah-langkah konkret perencanaan pembelajaran agar bisa memaksimalkan penerapan dan pembiasaan pengetahuan agama dalam kehidupan sehari-hari melalui tiga langkah berikut pertama habituasi Nilai-nilai keagaamaan. Habituasi terhadap apa yang sudah dipelajari di dalam kelas bisa dijadikan sebagai metode dalam menanamkan nilai-nilai keagaaman terhadap siswa. Bentuk aktivitasnya bisa berupa salat duha’ berjamaah di sekolah, pembacaan ayat suci alqur’an dan ibadah lain yang bisa dilaksanakan bersama-sama.
Kedua pemberian Teladan Baik. Selain mendorong siswa untuk membiasaan diri dalam menanamkan nilai-nilai keagaaman, guru juga harus bisa memberi teladan baik (uswatun khasanah) bagi siswa-siswinya baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian, siswa akan terinspirasi untuk melakukan hal sama. Teladan yang baik sangat diperlukan saat ini di mana banyak orang tua yang waktunya banyak tersita untuk mengurusi pekerjaan. Tidak sedikit kasus kenakalan remaja bersumber pada keluarga yang jarang memberikan perhatian dan teladan baik bagi anak-anaknya. Di sini, guru bisa menjadi oase atas keringnya teladan siswa yang diperoleh dari kedua orang tuanya.
Ketiga pengawasan dan Pelurusan. Selain dua hal di atas, guru sebaiknya juga rutin melakukan pengawasan terhadap siswa-siswinya baik di dalam maupun di luar sekolah. Frekuensinya tidak harus intens, tapi rutin. Hal ini bertujuan untuk memantau sejauh mana nilai-nilai keagaaman telah berhasil ditanamankan dalam kehidupan sehari-hari anak didiknya. Jika terjadi kekeliruan atau bias dalam menerapkan nilai-nilai keagaaman, guru selanjutnya melakukan pelurusan yang bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Tindakan ini bertujuan untuk memberikan koreksi sehingga di kemudian hari hal tersebut tidak kembali terulang.
Tiga langkah sederhana tersebut di atas akan sangat bermakna dan memberi dampak besar andai bisa diterapkan secara maksimal oleh guru. Meskipun begitu, orang tua juga harus lebih peduli terhadap anak-anaknya karena pendidikan terbaik sejatinya bermula dari pendidikan keluarga. Sedangkan guru hanya membantu yang sifatnya sementara. Jika sinergitas ini (antara guru dan orang tua) bisa berjalan dengan baik, permasalahan moralitas siswa tentu akan bisa ditekan dan ditangani dengan baik.
IMAM BUHORI, S. Pd.I
GURU PAIÂ SD NEGERI 05 MENDELEM
KEC. BELIK KAB. PEMALANG