Paradigma Pendidikan Di Indonesia Kini

Jatengpos.co.id-Mengutip dari beberapa tulisan online, saya tergugah dengan keadaan pendidikan di Indonesia saat ini, dimana guru sebagai motivator sangat kehilangan arah dalam mengembangkan kurikulum yang saat ini sedang beredar (maaf, kalau saya menggunakan kata “beredar” karena, saya yakin… tidak lama berselang, akan muncul kembali edaran tentang sebuah kurikulum baru yang promosinya lebih bagus daripada yang sebelumnya.

Saya sangat setuju dengan sebuah tulisan pada sebuah blog yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini dititikberatkan pada pendidikan berideologi “Liberal”. “Melihat pada realitas pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan dasar, maka secara umum ideologi pendidikan Indonesia sekarang ini berkecenderungan pada ideologi pendidikan liberal. Hal tersebut terlihat dari beberapa kebijakan yang relatif liberal.

Pertama, pengacuan pendidikan lebih menitikberatkan pada penguasaan kompetensi, sedangkan kompetensi yang dimaksid selalu mengacu pada kebutuhan dunia kerja kapitalis. Dengan kata lain pendidikan pada akhirnya hanyalah menjadi sekrup kecil dari roda-roda kapitalisme. Seakan persepsi yang didesakkan pada peserta didik, dunia pendidikan, dan bahkan masyarakat luas adalah, “pendidikan untuk bekerja”. .

Kedua, pendidikan berideologi liberal menitikberatkan proses pembelajaran pada peserta didik, sementara guru sekadar sebagai motivator, pengarah, bukan aktor utama dalam proses pembelajaran, bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Yang dituju adalah aktualisasi diri siswa sepenuhnya. Hal ini artinya merombak tradisi pembelajaran yang telah mendarah daging selama ini di lembaga pendidikan, yakni guru adalah pusat pembelajaran di kelas, yang di-gugu lan ditiru (diiyakan petuahnya dan dianut keteladanannya). Kebijakan ini tidak serta merta menjadikan pembelajaran dan siswa dapat sepenuhnya mengaktualisasikan diri hingga berprestasi menggembirakan.

Guru banyak yang masih konservatif dan tidak dapat memerankan diri sekadar sebagai motivator pembelajaran. Di sisi lain siswa pun belum dapat menerima kehadiran guru sekadar sebagai motivator, siswa masih saja pasif dalam proses pembelajaran. Siswa belum dapat mandiri dan menjadi kritis sebagiamana diharapkan oleh paradigma dan/atau pendidikan liberal. Hal itu terjadi karena mereka masih kentalnya kultur belajar teacher centered selama ini. Yang terjadi selanjutnya adalah gagap proses pembelajaran dalam memadukan antara idealisme sebagaimana kebijakan pemerintah melalui Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang student centered dengan realitas pembelajaran di lapangan yang belum dapat melepaskan diri dari konsep teacher centered.

Ketiga, desentralisasi pendidikan yang satu paket dengan otonomi daerah sebagai kebijakan yang dikeluarkan pascareformasi dengan agenda politik demokratisasi. Demokrasi sebagai anak dari liberalisme dalam konsepsi politik melahirkan kebijakan desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang juga berimbas dengan kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk memberrikan kewenangan untuk mengelola secara mandiri bagi daerah dan satuan pendidikan masing-masing.

Kebijakan ini pada akhirnya menuai masalah, terutama ketika pemerintah ngotot memberlakukan ujian nasional (UN) dengan acuan standar nasional, padahal di sisi lain pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan kebebasan pada masing-masing daerah dan institusi pendidikan untuk memberikan proses pembelajaran optimal namun menyesuaikan dengan kemampuan dan lokal. Akhirnya timbul protes ketika dilaksanakan UN yang mengacu pada standar nasional yang belum tentu sesuai dengan standar lokal masing-masing daerah dan satuan pendidikan. Terjadi semacam ketidakadilan dan kerancuan paradigmatik di mana masing-masing satuan pendidikan diberi kebebasan menyusun proses pembelajaran sesuai dengan kekhasan, potensi, dan kemampuan yang ada dengan tanpa menafikan upaya untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan, namun di sisi lain kebebasan tersebut dirampas oleh adanya standarisasi nasional UN sebagai penentu kelulusan siswa. Standar inilah yang seringkali tidak dapat dijangkau oleh satuan pendidikan di daerah yang relatif terbelakang. Pelaksanaan UN ini pun pada akhirnya berakibat pada banyak kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaannya.

OLEH : Siti Maryani, S.Pd

SD Negeri PURWOSARI

Purwodadi, Purworejo