JATENGPOS.CO.ID, – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah yang meliputi Literasi Menulis dan Membaca tersebut merupakan kunci dalam usaha pemerolehan ilmu pengetahuan.
Mengembangkan budaya literasi di sekolah memang tidak mudah. Apalagi pada era sekarang, dimana siswa sudah mengenal gadget. Banyak generasi muda yang tidak mampu menggunakan secara bijaksana. Mereka menggunakan gadget sebagai ajang bermain dan terkadang melihat sisi negatif dunia. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi guru dalam menumbuhkan jiwa literasi pada peserta didik.
Guru harus kreatif dalam mengembangkan budaya literasi di sekolah. Salah satu langkah yang bisa dilakukan guru dalam menumbuhkan jiwa literasi menulis dan membaca adalah melalui proses pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran ini diterapkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Salah satu materi pembelajaran sastra Bahasa Indonesia yang mampu membantu menumbuhkan budaya literasi adalah menulis puisi dan parafrase. Menulis puisi dan parafrase merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Terlebih adalah siswa kelas VI sebelum mengikuti USBN.
Sebelum siswa memasuki kelas VI, sudah mengenal puisi sejak kelas rendah. Siswa sudah mendapatkan materi pembelajaran menulis puisi. Dan saat kelas VI semester 1, siswa memperoleh pembelajaran menulis parafrase. Praktik pembelajaran tersebut mengacu pada kompetensi dasar yang terdapat dalam silabus. Salah satu kompetensi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia adalah Kompetensi Dasar 4.4. Mengubah puisi ke dalam bentuk prosa dengan memperhatikan makna puisi. Mengubah puisi menjadi prosa disebut parafrase puisi (Umri, 2008:51).
Pembelajaran menulis puisi dan parafrase dapat didesain guru dengan beberapa model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran paling tepat dalam keterampilan berbahasa adalah model CIRC. Slavin (2008: 16) berpendapat bahwa CIRC merupakan program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar.
Melalui CIRC pembelajaran bahasa khususnya menulis puisi dan parafrase mampu didesain dalam pembelajaran kelompok. Hal ini tentu menunjang keberhasilan belajar berbahasa siswa. Bahkan melalui CIRC juga dapat menghasilkan suatu karya yang dapat menunjang budaya literasi. Salah satu karya yang dapat dihasilkan berupa antologi puisi. Antologi puisi ini merupakan kumpulan puisi karya siswa. Siswa akan lebih tertarik membaca puisi karya sendiri dan karya rekan-rekan sekelasnya. Apalagi kalau karya tersebut dikemas dalam bentuk buku antologi.
Jika membayangkan antologi, sepertinya masih dirasa berat, puisi-puisi siswa tadi bisa disusun menurut temanya, dikemas menyerupai buku yang dijilid sendiri, atau terkadang disebut dengan istilah minybook. Dari puisi karya siswa tersebut, dapat dikembangkan literasi menulis yang lain. Siswa diajak untuk mengubah puisi tersebut ke dalam bentuk prosa atau disebut parafrase. Siswa akan angat tertarik membuat parafrase dari puisi karya sendiri dan karya rekan-rekan sekelasnya.
Untuk meningkatkan antusias siswa dalam literasi menulis dan membaca, guru bisa mengajak siswa mengemas parafrase-parafrase karyanya dalam bentuk minybook. Minybook tersebut dapat ditambahi dengan gambar-gambar yang mendukung. Tentunya gambar-gambar yang sesuai dengan tema puisi dan parafrase. Karya tersebut dapat dipajang dalam rak di sudut baca. Atau disusun rapi di meja literasi yang bisa disiapkan di tiap kelas.
Jadi sebenarnya tidak ada istilah sulit dalam mengembangkan budaya literasi. Hal ini dapat dikenalkan dengan mudah melalui pembelajaran. Tentunya hal ini harus didukung dengan kekreativitasan guru dalam memilih model pembelajaran.
Retno Triastuti, S.Pd.SD., M.Pd.
Guru SD Negeri 1 Kedungombo, Baturetno, Wonogiri