Filosofi Tari Jawa di Tengah Gempuran Modernisasi

Uchik Anggarani, S.Pd Guru SMKN 1 Salatiga
Uchik Anggarani, S.Pd Guru SMKN 1 Salatiga

JATENGPOS.CO.ID, – Tarian Jawa selain merupakan seni gerak tubuh, juga merupakan pengejawantahan dari pemahaman nilai budaya. Budaya Jawa memproses pemahaman olah rasa dan olah pikir dengan tetap mengutamakan sisi kelembutan dan kesantunan. Proses penciptaan tari Jawa mengacu pada konsep wiraga, wirama, wirasa, suatu konsep keseimbangan dan harmoni antara gerak, irama, dan rasa.

Gerakan tari Jawa yang lemah gemulai mengajarkan seseorang untuk bersabar, bertutur lembut, dan berkonsentrasi tinggi, memadukan gerakan dengan irama gending. Semua dilakukan bersamaan dengan menggunakan kepekaan hati. Dengan menari, bukan hanya hati yang lebih terasah dan peka, tubuhpun menjadi sehat , karena seluruh anggota tubuh bergerak, termasuk otot perut dan pernafasan. Menari mengeluarkan banyak energi.

Banyak filosofi tentang seni budaya Jawa yang patut kita teladani dan masih selalu terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kelak, anak cucu kita tidak faham sama sekali seni budaya dan filosofi nenek moyangnya. Ketika ramai digaungkan cinta budaya Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata, termasuk jawa Tengah, namun generasi mudanya jauh dari filosofi budaya itu sendiri, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan kosong semata, tanpa ruh. Pada akhirnya gerakan itu hanya akan berhenti sebagai trend yang bersifat musiman. Sayang sekali bukan?

Baca juga:  Serunya Berkebun Sambil Belajar

Contoh Tari Jawa yang mengandung banyak filosofi kehidupan adalah Tari Bedhaya, yang berkembang di dalam keraton Surakarta dan Yogyakarta. Tari Bedhayapakem ditarikan oleh sembilan orang  ketika ditarikan di lingkungan keraton. Formasi dasar Tari Bedhaya yang berjumlah sembilan orang merupakan simbol seluruh arah mata angin dalam ajaran falsafah jawa. Dalam keyakinan Hindu yang kemudian diserap oleh falsafah hidup masyarakat Jawa, ada sembilan dewa (nawasanga) penguasa penjuru mata angin. Filosofi sembilan arah mata angin ini adalah simbol keseimbangan alam, pemangku kehidupan. Berkaitan dengan itu, sembilan penari dalam Tari Bedhaya melambangkan manusia beserta anggota badannya. Masing-masing memiliki sebutan dan makna yaitu Batak (jiwa dan pikiran), Jangga/Gulu (leher), Dada (dada). Endhel Ajeg (nafsu/hasrat), Apit Ngarep (lengan kanan), Apit Mburi (lengan kiri), Buncit/Boncit ( simbol organ seks), Endhel Weton (kaki kanan), dan Apit Meneng (kaki kiri).Dalam gerak-gerak tarinya terkandung pelajaran tentang melatih kesabaran, kepekaan, kesopanan, dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Masih banyak lagi tari Jawa yang mengandung filosofi kehidupan, yang sarat akan nilai-nilai kebajikan.

iklan
Baca juga:  Pembelajaran “Firami” Sukses dengan Google Classroom

Akan tetapi seiring perkembangan jaman, sedikit demi sedikit nilai-nilai adiluhung tersebut mulai ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Mereka mulai berpaling pada budaya barat yang semakin berpengaruh di negri ini, dengan didukung perkembangan teknologi dan informasi sehingga siapapun dapat dengan mudah menerima informasi-informasi dari luar, terutama budaya luar yang sedang populer terutama pada dunia anak remaja yang sedang mencari jati dirinya. Adakah nilai-nilai yang terkandung dalam gerak-gerak tari modern? Apakah Ilmu kesabaran, kesopanan, dan etika didapat melalui tari modern?

Anak muda lebih bangga dengan budaya barat tersebut. Mereka beranggapan bahwa budaya tradisi kita terutama tari Jawa itu kuno dan kaku, tidak keren.Namun, tahukah anda bahwa bagi wisatawan mancanegara tarian tradisional memiliki banyak daya tarik. Bahkan ada negara lain yang mengklaim tarian yang kita miliki. Itu semua menunjukkan bahwa budaya tari yang kita miliki mempunyai pengaruh yang cukup besar. Sungguh sangat ironis jika penerus bangsa ini baru mengetahui “Tari Pendet” ketika tarian itu di klaim oleh negara tetangga.

Baca juga:  Papan Flanel Tingkatkan Kemampuan Membaca Siswa

Gempuran tari dari budaya barat atau modern merupakan sebuah hal yang wajar dan tidak dapat kita cegah apalagi dalam era globalisasi sekarang ini. Namun hal itu jangan sampai membuat kita hanyut dan memudarkan nilai-nilai dan filosofi tari Jawa yang merupakan nilai budaya nasional.

Pengaruh budaya asing menjadikan kita hanyut mengikutinya, baik dari Amerika, Eropa, India, Harlem Shake dan yang paling populer saat ini budaya K-pop. Setiap tugas karya tari di sekolah, dance competition, bahkan pensi atau pentas seni lebih banyak diisi tarian-tarian beraroma K-Pop. Jangan heran apabila 10 sampai 20 tahun lagi kita menyaksikan tari Bedhaya, Srimpi, Gambyong ditarikan oleh orang Eropa, karena mereka lebih menghargai dan lebih tertarik mempelajari tarian Jawa yang mengandung banyak filosofi. Sudah saatnya bagi kita generasi muda penerus bangsa mengembangkan dan melestarikan kembali tarian tradisional, mengingat filosofi yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat dalam kehidupan. Bagaimanapun juga itu adalah hasil cipta bangsa kita yang sarat akan nilai dan ciri khas budaya bangsa Indonesia.

Uchik Anggarani, S.Pd

Guru SMKN 1 Salatiga

iklan