JATENGPOS.CO.ID, – Di dalam satu kelas sering kali dijumpai hanya satu atau dua orang siswa yang berani berbicara sementara kebanyakan siswa lain memilih diam sehingga siswa tersebut terkesan mendominasi kelas. Untuk itu, guru bahasa dan sastra jawa perlu melatih dan merangsang semua siswa untuk berbicara. Latihan yang pertama kali perlu dilakukan guru ialah menumbuhkan keberanian siswa untuk berbicara, paling tidak untuk mengemukakan pendapat. Guru harus dapat menciptakan kesempatan dan keharusan bagi siswa berbicara di dalam kelas.
Pembelajaran terhadap ketranpilan berbahasa jawa  ini tidak dapat hanya melalui uraian/ penjelasan guru saja, tetapi juga harus didukung dengan latihan dan praktik secara teratur. Guru memberikan teori dan masukan-masukan mengenai keterampilan ini. Di sisi lain, siswa dapat menerapkan teori tersebut secara langsung. Melalui latihan dan praktik, siswa mendapat bimbingan dan masukan dari guru sehingga siswa menguasai keterampilan ini. Oleh karena itu, pembinaan terhadap keterampilan berbahasa jawa di sekolah hendaknya dilakukan secara terprogram dan berorientasi pada pengembangan dan peningkatan kompetensi siswa.
Ketidakberanian siswa bercerita di depan kelas dikarenakan kurangnya rasa percaya diri siswa ketika harus berbicara di depan kelas. Penyebabnya adalah terbatasnya pengetahuan siswa mengenai teknik-teknik dasar keterampilan berbahasa. Selama ini pengetahuan yang diterima siswa masih kurang. Hal ini terbukti dengan ditemukannya banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa saat berbicara. Saat berbicara di depan kelas, siswa tampil apa adanya tanpa teknik berbicara. Padahal teknik-teknik dasar berbicara seperti sikap badan, variasi intonasi, dan ekspresi sangat penting diketahui siswa, sehingga  membuat siswa lebih percaya diri dan merasa mantap ketika bercerita di depan kelas.
Pembelajaran dengan alat peraga menggunakan metode time token arends diharapkan akan menumbuhkan ketrampilan siswa berbahasa jawa. Dengan metode ini, semua siswa dipaksa untuk bercerita dan mengomentari kegiatan bercerita siswa lain. Guru mengusahakan semaksimal mungkin agar tidak ada siswa yang pasif atau aktif sekali sehingga terjadi pemerataan keterampilan bercerita dan berkomentar.
Bercerita dengan alat peraga langsung dalam pengertian ini dicontohkan menggunakan  beberapa jenis binatang atau benda-benda sebenarnya bukan tiruan atau berupa gambar dan gambar yang dipilih hendaknya sesuai dengan tahap perkembangan anak, isinya menarik, mudah dimengerti dan membawa pesan, baik dalam hal pembentukan perilaku positif maupun pengembangan kemampuan dasar.
Dalam pembelajaran bahasa Jawa, sate gambar dapat digunakan dalam kegitan bercerita dengan alat peraga, misalnya ketika anak akan bercerita tentang wayang, siswa dapat seperti dalang  menggunakan sate gambar dengan gambar wayang, walaupun siswa tidak harus memenuhi pakem mendalang dan menggunakan layar putih untuk menampilkan siluet. Gambar-gambar yang digunakan siswa bercerita dapat mewakili tokoh atau latar cerita yang dibawakan.
Pemilihan media sate gambar sebagai alat peraga bercerita juga berdasarkan pertimbangan ekonomis, dan media yang digunakan dalam pembelajaran seharusnya terjangkau, baik dari sisi guru maupun siswa.
Dengan menggunakan metode time token arends (TTA) diharapkan semu siswa mampu menggunakan setiap waktu yang diberikan untuk bercerita dan berkomentar sehingga setiap siswa trampil berbahasa jawa dalam pembelajaran menggunakan alat peraga.